MENELUSURI PERJALANAN SYEH BURHANUDDIN BIN SULTAN UMAR BERSAUDARA DARI YAMAN ARAB TURKI USMANIAH KE NUSANTARA DAN PENYEBARAN KETURUNANNYA MELALUI SYEH ABUSSALAM BIN BURHANUDDIN BERSAUDARA DI ACEH
by
@penulis
- Agustus 22, 2022
Menjelang akhir abad ke 6 M (1009 H), Enam orang dari 40 anak Sultan Umar (dari beberapa istri) hijrah ke Asia Tenggara. Sultan Umar bersisilah keturunan ke atas sampai pada Saidina Hasan Bin Ali Bin Abi Thalib/ Siti Fatimah Binti Rasulullah Melalui jalur Syeh Abdul Qadir Jailani. Anaknya yang 6 ini dari isteri bernama Putri Gangga, Anak Sultan Turki. Ke Enam mereka Cuma 4 orang yang sudah diketahui nama asli, yang lainnya baru diketahui nama sebutan yang tidak di pahami maknanya. Kakek kami di Pase menyebut beliau (Sultan Umar) Peuraja chik meuluweuk. Mereka mendarat di Pante Geulima Meureudu Aceh dan diterima baik oleh pemuka pemuka Agama dan Ulama Meureudu atas nama Sultan Aceh.
Tentang pante geulima dan Meureudu
Riwayatnya dua orang dari keturunan Sultan Aceh hijrah ke timur, Satu orang singgah di Geulumpang Minyeuk di kenal sebagai Teungku chik Geulumpang Minyeuk dan seorang lagi melanjutkan ke pante Geulima Meureudu di kenal sebagai Teungku Chik pante Geulima Pertama bernama Muhammad Ya’qub, Selanjutnya keturunannya sampai 7 orang di kenal juga sebagai Teungku Chik pante Geulima.
Kehidupan masyarakat Meureudu umumnya berpanutan pada Ulama-ulama karena sebagaimana juga di daerah-daerah lain belum ada pemerintah (Raja/Hulubalang). Selain Teungku chik pante Geulima di Meureudu juga ada Teungku chik Beuracan yang populer di sebut Teungku Chik pucoek krueng. Riwayat beliau datang ke Aceh bersama Tu Japakeh dan Malem Dagang dan ada juga Ulama-ulama lain di Meureudu yang tidak kami sebutkan.
Setelah beristirahat beberapa lama di Pante Geulima Meureudu, 4 di antaranya melanjutkan perjalanan ke Banten Jawa, rupanya mereka sesampai disana menyebar kembali, terbukti satu orang adalah syeh Yusuf yang hijrah ke Sulawesi di kenal Syeh Yusuf Makasar yang akhirnya di tangkap Belanda dan di asingkan ke Afrika Selatan. Tiga Orang lagi belum di ketahui pasti di mana posisi akhir mereka dan keturunanya temasuk satu orang yang di ketahui namanya Syeh Sya’ya, setidaknya satu orang pasti menetap di Banten.
Satu orang lainnya bernama Syeh Maimun setelah kawin dengan putri pante Geulima melanjutkan perjalanan mendirikan kerajaan Deli (Dinasti Maimun) atas restu Sultan Aceh.
Satu orang terakhir bernama Syeh Burhanuddin Kawin dan menetap lama di Aceh. Oleh Sultan Iskandar Muda beliau di beri gelar Hulubalang dengan sebutan Teuku bujang puteh, mungkin dengan harapan beliau mau menjadi Raja di Meureudu,tetapi beliau punya misi lain tidak mau menerima tawaran tersebut. Sultan Iskandar Muda mengangkat beliau sebagai penasehat dengan sebutan keujruen saran. Beliau juga pernah di tugaskan sebagai ketua Tim penjemputan Putri Pahang (putroe phang) sewaktu menikah dengan Sultan Iskandar Muda.
KETURUNAN
Beliau mempunyai anak 5 orang yaitu:
1. Syeh Abdussalam.
2. Teungku Sulaiman (sin lam ya).
3. Teungku Raden (Ra Dal Nun).
4. Teungku Juhan (Jim ha Nun).
5. Cut Fatimah.
Nama-nama ini Kami ambil sesuai dengan peta silsilah yang kami lihat di Waido sewaktu kami berkunjung kesana pertama kali pada tahun 2014. Dari catatan di pase cuman menyebutkan nama samaran seperti Teungku cot Batana, Teungku di cot bale, Teungku di lueng angen. Kesemua mereka lahir di meureudu, Kami dari keturunan mereka yang telah tergabung dalam sebuah organisasi kekerabatan yang kamiberi nama KELUARGA BESAR TEUNGKU CHIK DI PASI menyebut mereka sesuai dengan tempat domisili terakhir sampai meninggal, SYEH ABDUSSALAM yang belakangan lebih populer dengan Teungku chik di pasi sebagai Tu waido, TEUNGKU SULAIMAN yang di angkat oleh sultan iskandar muda sebagai Hulubalang Meureudu dengan sebutan teuku Muda dalam kami sebut sebagai Tu meurudu, TEUNGKU RADEN membangun komunitas di garot kami sebut sebagai Tu garot, TEUNGKU JUHAN membangun komunitas di gampong aree kami sebut sebagai Tu gampong aree, CUT FATIMAH di nikahkan dengan Raja Lingge (Gayo) kami sebut Tu lingge (gayo).
HIJRAH
Setelah Sultan Iskandar muda mangkat beliau tidak lagi bertugas sebagai pejabat kerajaan (keujrun sara), beliau melanjutkan misi nya hijrah ke minang kabou sekitar tahun 1050 H, beliau mendarat di ULAKAN pariyaman sumatra barat, Misi beliau memakmurkan islam disana. Setelah 35 Tahun beliau mengajar islam disana beliau kembali lagi ke Aceh bersama saudaranya Syeh Yusuf makasar dan seorang lagi yang belum kami ketahui namanya, untuk mendalami Tariqat Syattariah untuk di kembangkan di tempat masing-masing. Tariqat syattariah berkembang pesat di minang kabou, terbukti dengan banyaknya setiap tahun orang minang yang ziarah ke makam syeh Abdurrauf (sebagai guru dari guru besar beliau).
Syeh Abdussalam menetap lama di meurudu, Beliau belajar pada Ulama-ulama aceh kemudiaannya beliau melanjutkan ke Arab dan lama beliau disana. Setelah kembali ke Aceh beliau pertama kawin dengan anak Teungku Chik Beuracan (Teungku chik pucok krueng). Disini beliau mempunyai anak 10 (sepuluh) orang yang semuanya laki-laki. Sekitar 20 Tahun kemudian beliau kawin lagi dengan istri ke dua (poligami) dengan anak Teungku chik pante geulima, disini beliau mempunyai anak 8 orang yang juga semuanya laki-laki. Beliau mempunyai misi anak-anak beliau semuanya di suruh menyebar ke pase kecuali 1 (satu) orang yang ke meulaboh dan 2 (dua) orang ke Langkat dan Tamiang tetapi keduanya meninggalkan anak sulung masing-masing pada ke dua orang tuanya.
.
PENYEBARAN
Anak sulung teuku muda dalam sesudah dewasa diangkat oleh sultan aceh menjadi Hulubalang Bambi. Kemudian anak sulung teungku chik Bambi sesudah dewasa diangkat sultan aceh menjadi Hulubalang meureuboe. Kemudiannya lagi anak sulung teungku chik meureuboe kembali ke Meureudu, beliau disarankan sang kakek untuk hijrah ke pase , Di pase beliau membangun wilayah kerajaan peutoe, wilayahnya sebelah selatan wilayah keureutoe lebih ke timur, batasnya sebelah utara leubok layang, selatan buloh lhang, barat paya beurandang, timur langkahan mancang. Beliau diberi gelar teuku hakim jaba, maknanya beliau mempunyai wewenang mengadili perkara (hak yudikasi).
Seorang cucu lain teuku muda dalam berlayar ke timur menyusuri pantai, tiba di keureutoe masuk ke muara krueng keureuto ber kayuh kearah hulu, tiba di suatu tempat dia bertemu penghalang yaitu pohon ara besar condong ke sungai, perjalanan berhenti sampai disitu, dia mendapat firasat daerah itulah wilayah yang diberikan ke beliau. Maka tempat tersebut di beri nama Ara bungkok. Status wilayah masih di bawah keureutoe yaitu bentara (ben). Wilayahnya berbatasan dengan peutoe dan seuneudon. Dalam wilayah tersebut sebelah timur krueng keureutoe , kemudian terbangun dua mukim matang ubi dan matang sijuek, setelah kedua wilayah tersebut di isi oleh keturunan Syeh Abdussalam. Setelah belanda mulai menduduki pase, banyak masyarakat yang dekat perkotaan hijrah ke pedalaman sebelah timur matang ubi. Sehingga terbangun banyak Kampung-kampung baru. Sampai kemudian di bentuk satu mukim baru bernama Paya Surien. Diangkat sebagai hulubalang Teuku Mukim Sin yaitu adik dari teuku mukim matang ubi ke dua Teuku Raja Puteh, yaitu anak ke dua dari Teuku mukim pertama, Teuku Ayoen. Teuku sin orang matang ubi menyebutnya dengan Teuku Gunong.
Setelah indonesia merdeka masyarakat kembali lagi ke desa asal, mungkin disebabkan oleh morat-marit nya ekonomi masyarakat masa penjajahan jepang dan juga gembiranya masyarakat menyambut kemerdekaan. Dalam masa kemerdekaan status mukim paya suren di hilangkan. Kampung-kampung yang dekat dengan mukim sekitar di gabungkan kesana. Ara bungkok sendiri dalam masa pendudukan belanda, terkesan sudah seperti Nanggroe setrara dengan putoew dan kerto, di sebabkan oleh kolonial belanda membangun pusat pemerintahan dan pasar dalam wilayah ara bungkok yaitu LHOKSUKON. Sedangka Kerto sendiri yang sedianya KUTAnya di tanoeh pasi, di pindahkan belanda ke Blang jruen. Ini cuman strategi penjajah untuk mudah menguasai.
Anak sulung Syeh Abdussalam di Beuracan yang bernama Zainal Abidin setelah kawin dan mempunyai anak di angkat oleh Sultan Aceh menjadi Duta Kesultanan Aceh untuk kerajaan langkat, sebagai Pengawas/Penasehat, beliau zainal abidin meninggalkan anak sulungnya di Meureudu. Setelah michik di beuracan meninggal beliau memerintahkan anak-anak beliau bersama cucu untuk menyebar ke pase dan mereka di suruh singah di kediaman teungku chik awe geutah Peusangan, rupanya sesampai disana mereka di nikahkan dengan anak-anak dan cucu teungku chik awe geutah. Sesudah mereka semua mempunya pasangan dan di tambahi bekal yang sanggup di bawa, mereka melanjutkan perjalanan ke pase. Dan mereka singgah di suatu tempat dalam wilayah matang kuli, yang belakangan di kenal dengan Parang si kureung, sesuai dengan jumlah mereka sembilan orang. Setelah beristirahat sejenak mereka mulai mempelajari posisi mereka di tempatkan.
1. Di posisi singgah tersebut (parang sikureung) ada satu orang yang ditempatkan disitu.
Nama asli beliau belum di ketahui, tetapi ada yang menyebutnya Tok Bambi. Di antara keturunannya yang di kenal sekarang teungku haji Muhammad daud (Abu lhoknibong) dan lagi Haji Muhammad Jafar (Abi jakfar lhoknibong), dan Haji Muhammad Ali (Abu Paya pasi). Salah seorang anak beliau yang di sebut teungku Arab membangun wilayah matang keupila dan salah seorang anak beliau yang lain yang bernama teungku Ben dan biasa disebut Abu Tanjongan (karena beliau mengaji pada teungku Idris Tanjongan) bersamaan dengan Abi Hanafiah mudi mesra, membangun Dayah di parang sikureung. Didayah tersebut pernah mengaji teungku haji Muhammad Thaib (Abu Bate lhee) dan Abon Abdul Aziz Samalanga juga pernah belajar disana selama lebih kurang dua Tahun, mungkin atas saran Abi Hanafiah.
Rupanya dua orang dari yang sembilan tersebut harus menyeberang krueng kerto ke sisi timur.
2. satu orang dari mereka di tetapkan di posisi pante dalam wilayah teuku bentara pirak, diantara keturunannya dapat kami sebutkan keluarga mukim pirak sekarang (tahun 2020), termasuk hajjah Adnen yang sekarang berdomisili di lhoksukon, seorang lagi cucunya yang biasa kami panggil Cu wa pirak yang kawin dengan teungku bunu mempunyai anak Dua orang yaitu, Hasan bunu dan Abdullah bunu.
3. Seorang lagi menyusuri tepi timur krueng kerto kearah utara, posisi beliau di sebut dengan pange masih wilayah teungku ben paya pirak. Diantara keturunannya satu orang yang biasa di sebut Teungku Muda pahlawan. Satu orang lagi yang kami sebut nek laboh bernama Umar yang berhijrah mendampingi kakek Penulis di Buket Hagu, Kemudian di susul oleh adiknya yang bernama Usman yang biasa di panggil bileu usman.
4. Sisa yang masih di tempat singgah, posisinya kearah selatan barat di sebut Riweuk masuk wilayah teuku bintara seuleumak. Namanya Syeh Abdul jamal, Keturunanya yang di ketahui teungku Yakob – teungku muda kari dan keturunan-keturunan mereka.
5. Seorang lainnya harus kembali ke barat mendekati krueng pase, posisi tersebut di kenal sebagai Nibong, rupanya nibong tersebut tidak mempunyai Raja/Hulubalang maka beliau di angkat sebagai hulubalang nibong dengan sebutan Teuku Datu Nibong. Diantara keturunannya adalah Mukim Abdullah Nibong, termasuk lagi yang disebut Ayah Gani.
6. Sisa empat orang lagi menyusuri tepi barat Krueng kerto. Satu orang posisinya Teupin Keubeu sebelah utara matangkuli tapi tidak masuk daerah matangkuli, disini juga lagi kosong Hulubalang maka beliau diangkat oleh Hulubalang kerto sebagai Teuku bentara teupin keubeu, nama beliau juga belum diketahui tapi ada yang menyebutnya Tok puri. Salah seorang anaknya perempuan kawin dengan teuku Muhammad daud pirak, mempunyai anak yang salah satunya perempuan diberi nama Cut Meutia yang belakangan menjadi Pahlawan Nasional dan keturunan yang lainnya yang dapat kami sebutkan Keluarga Besar T.A Malik (Mantan Camat Lhoksukon periode Tahun 60-an) dan Keluarga Besar T.M Said (Mantan Kepala Urusan Agama Lhoksukon periode Tahun 60-an) dan seorang diantara Cucunya Hijrah ke Buket Hagu mengambil posisi Alue Ceukoet namanya Teuku Sabon, salah seorang anaknya teuku Basyah yang kawin dengan Kakak penulis.
7. Yang lainnya terus menyusuri ke utara, Satu diantaranya menyusur sampai dekat Muara sungai tidak jauh dari kuta kerto persisnya jeurat manyang, dan namanya juga belum diketahui. Diantara keturunannya dapat kami sebut satu orang yang bernama Muhammad Ali biasa disebut Pak Ali Kerto (Mantan Kepala Polisi Kabupaten Aceh utara Tahun 50-an).
8. Dua orang diantaranya berhenti dan menyebrang ke sisis timur krueng kerto menuju posisi matang ubi.
Dan sang kepala rombongan posisi penempatannya di tempat tersebut.
Namanya teungku Husen biasa disebut Teungku Dalam, posisi tersebut di sebut matang ubi karena setiba beliau di tempat tersebut sudah ada dengan karunia Allah Ubi Siap panen. Diantara keturunannya tidak perlu disebut satu persatu karena penulis sendiri adalah keturunan beliau.
9. Yang tersisa Cuma sang keponakan jadi posisi beliau menuju ke timur ke wilayah seuneudon, persisnya Alue bili, namanya teungku Nyak derok. Diantara keturunannya adalah keluarga besar Abu Geulumpang Samlakoe, Ada juga anaknya hijrah ke Matang ubie.
Setelah michik beuracan meninggal dan anaknya telah menyebar ke pase, Syeh Abdussalam tinggal sekitar 20 lagi di Meureudu bersama michik pante Geulima dan anak-anknya. Anak sulung di pante Geulima bernama Husaini telah kawin dan mempunyai anak, kemudian di angkat oleh sultan Aceh menjadi Raja tamiang. Beliau seperti juga abangnya di beuracan meninggalkan anak pertamanya di Meureudu. Orang Tamiang menyebut beliau dengan raja Sulong, begitu juga anak-anak penerusnya. Dikatakan Tamiang asal muasalnya beliau mempunyai Flek hitam di pipi, orang Aceh menyebutnya itam mieng.
Anak Syeh Abdussalam di Meureudu tinggal 7 di tambah seorang cucu.
Setelah Michik Pante Geulima meninggal Enam dari anaknya di tambah dengan seorang lagi cucu di suruh ikut menyebar ke pase, sedangkan anak sulung ikut bersama beliau ke ie rhob samlanga. Mereka berangkat bersama-sama, ayah dan yang bungsu singgah di ie rhob, mereka yang tujuh melanjutkan perjalanan dan singgah di awee geutah. Seperti juga saudara mereka sebelumnya mereka juga di beri jodoh di awee geutah. Setelah mendapat tambahan bekal secukupnya, mereka melanjutkan perjalanan ke pase. Mereka juga singgah di tempat saudaranya di parang sikureung dan di sambut baik oleh saudara-saudaranya. Setelah beristirahat sejenak, mereka mulai melihat-lihat posisi tempat tujuan mereka masing-masing. Ternyata satu orang di antaranya harus menyeberang ke sisi timur krueng kerto.
1. Posisi beliau lebih ke timur dari posisi saudaranya yang terdahulu di pange. Posisi tersebut kemudian di kenal dengan Beurandang. Tempat tersebut rupanya masuk wilayah Peutoe. Beliau di angkat menjadi Hulubalang untuk wilayah tersebut, dengan sebutan Teuku Datu Beurandang. Diantara keturunanya termasuk satu orang yang di angkat menjadi teuku bentara (teuku ben lhok kareung) yaitu teuku johan. Keturunannya yang lain memenuhi wilayah beurandang dan sekitarnya. Beliau juga disebut tue tunoeng.
2. Seorang lainnya rupanya harus kembali ke barat melewati saudaranya terdahulu yang di niboeng terus menyeberang krueng pase kembali, kemudian menyusuri tepi barat krueng pase ke selatan dan berhenti di suatu tempat yang kemudian di kenal dengan blang ruma masuk wilayah teuku hakim krueng pase. Nama beliau Muhammad saleh, lebih di kenal dengan tu mazheh. Empat orang dari anaknya menyeberang ke timur krueng pase membangun Gampong sumboe. Orang sumboe malah menyebut yang membangun sumboe adalah anak teungku ie rob, Sebenarnya adalah cucu teungku ie rob, karena waktu tersebut Syeh Abdussalam masih di ie rob. Satu orang lagi anaknya membangun wilayah ara kemudi tepi barat krueng kerto, namanya Teungku Abdulmanan. Yang lainnya anak beliau Teungku Syeh Hasballah (Abu meunasah kumbang kakeknya teungku Ahmad dewi). Keturunannya yang lain Abu Sulaiman lhoksukon. Yang lain tidak kami sebutkan karena anak beliau dari 3 istri jumlahnya 24 orang.
Yang masih sisa menyusuri tepi barat krueng kerto melewati saudaranya terdahulu di teupin keubue pas di tempat penyeberangan kepala rombongan pertama mereka menyeberang ke tepi timur krueng pase.
3. Di posisi tepi sungai tersebut menjadi tempat bagi kepala rombongan ke dua ini, posisi ini sekarang di sebut Gampong baroe, kuta lhoksukon. Nama beliau Teungku Syeh Ibrahim, sering di sebut Tu Bluek. Diantara keturunannya adalah Teungku Usman aziz mantan Bupati Aceh Utara tahun 50-an dan lagi Teungku Husen Hamidi biasa di sebut nek husen mantan Bupati Aceh Utara tahun 60-an dan Bupati Aceh Timur tahun 70-an.
4. Posisinya menyusur ke timur krueng piadah melewati kepala rombongan 1 sampai ke posisi yang kemudiannya terbentuk Gampong Meunasah Nga, namanya belum di ketahui. Diantara keturunannya adalah keluarga besar Teungku Haji Ibrahim mantan kepala jaksa Lhoksukon tahun 50-an, ketuan partai persatuan pembangunan aceh utara, mantan anggota MPRI.
5. Satu orang lagi yaitu saang keponakan yang bernama Teungku nyak badai mengambil posisi tepi barat krueng kerto arah utara dari posisi kepala rombongan, Keturunannya memenuhi Meunasah pante.
Dua orang lainnya menyusur sampai ke dekat pantai.
6. Satu orang posisinya di Lapang, namanya Teungku Ujuet, populer disebut panglima prang Ujuet. Diantara keturunannya adalah keluarga besar Teungku Abdul Hanan Thabib dan Keluarga besar Teungku Muhammad Thahir amin (Waled Lapang).
7. Satu orang terakhir menyusuri tepi pantai ke timur dan berhenti di posisi Buah, nama beliau Teungku Muhammad Yasin lebih populer disebut Abu Lhok euncien. Diantara keturunannya adalah Teungku Muhammad Hasan (Abu Tanjong Dama). Dan lagi Teungku Muhammad Hasbi mantan Bupati Aceh Timur tahun 60-an dan lagi Teungku Nur Usman yang biasa disebut Abu Nu mantan pejabat di pertamina jakarta tahun 70-an.
Di ie rob, Syeh Abdussalam sekitar 30 tahun.
Di sini beliau kawin dengan anak teungku chik ie rob, beliau mempunyai anak disini 3 orang. Di beberapa tahunterakhir beliau di ie rob, Abi Hanafiah Mudi mesra sempat belajar pada beliau beberapa lama, informasi ini kami baca Dari Facebook tentang riwayat Abi Hanafiah, diceritakan di sana Abi Hanafiah pernah belajar beberapa lama pada teungku chik pasi waido, kemudian Abi Hanafiah pindah belajar pada teungku idris tanjongan, informasi ini benar tetapi bahasanya perlu di perbaiki, yang benar adalah Abi Hanafiah pernah belajar beberapa lama pada Syeh Abdussalam ketika masih di ie rob, kemudian terhenti karena Syeh Abdussalam hijrah ke waido dan Abi Hanafiah pindah belajar ke tanjongan. Selama Syeh Abdussalam di ie rob beliau belum disebut teungku chik di pasi, bahkan belum disebut teungku chik, sewaktu beliau di beuracan juga belum disebut teungku chik karena ada mertuanya yang disebut teungku chik beuracan dan di pante geulima juga demikian.
Setelah anak-anak beliau dewasa dan michik ie rob sudah meninggal beliau menyuruh anak-anak beliau untuk hijrah ke pase mengikuti saudara-saudaranya yang terdahulu, sebagai mana juga yang lain sebelumnya anak-anak beliau di suruh singgah di awe geutah, Jumlah mereka 4 orang temasuk yang bungsu dari pante geulima yang menjadi kepala rombongan. Disana juga mereka juga dinikahkan dengan anak-anak teungku chik awe geutah, sedangkan teungku Syeh Abdussalam sendiri hijrah dan kawin ke waido. Setelah punya pasangan dan mendapat bekal tambahan seperlunya mereka disuruh melanjutkan perjalanan ke pase. Mereka singgah di parang sikureung di tempat saudara mereka, Setelah beristirahat sejenak dan mempelajari posisi yang akan mereka tempati, mereka diarahkan saudaranya untuk menyusuri tepi barat krueng kerto arah utara melewati saudaranya yang di teupin keubeu, terus sampai ke tempat menyeberangnya kepala rombongan pertama dan keponakannya dan juga kepala rombongan kedua dan adik-adiknya, mereka juga menyeberang menjumpai abangnya kepala rombongan kedua teungku Syeh Ibrahim. Setelah melihat-lihat petunjuk, satu orang di suruh menuju ke arah timur tidak berapa jauh dari arah tersebut, di posisi timur bekas krueng piadah.
1. Beliau adalah kepala rombongan anak bungsu dari Pante geulima, bernama Teungku yakob, kemudian populer dengan sebutan pang kawom kob, posisi tersebut kemudian terbentuk gampong meunasah blang. Didomisili oleh keturunan beliau dan keturunan kepala rombongan pertama.
2. Seorang lainnya di suruh menyisir pantai timur krueng kerto kearah utara melewati saudaranya keponakan dari rombongan ke dua tidak jauh dari posisi tersebut. Di posisi ini kemudian terbentuk Gampong meunasah asan, Nama beliau belum di ketahui. Keturunan beliau memenuhi Gampong tersebut dan gampong Matang teungoh, satu orang dari anak beliau dapat kita sebutkan adalah Teungku Syeh Muhammad Juned. Yang lainnya disuruh menyeberang tepi bekas Krueng piadah ke arah timur.
3. Satu orang berhenti di suatu tempat arah timur kepala rombongan pertama. Posisis ini kemudian terbentuk Gampong meunasah meunye. Nama beliau Hamdani. Keturunan beliau memenuhi Gampong meunasah meunye, gampong meunasah trieng dan gampong meunasah ceubrek.
4. Satu orang terakhir terus berangkat ke timur sampai ke wilayah bentara seuneudon. Tempat tersebut kemudian di kenal dengan gampong Alue Anoe. Nama beliau juga belum di ketahui. Diantara keturunan beliau adalah keluarga besar istri mantan camat Syama’un.
Syeh Abdussalam setelah anaknya semua hijrah ke pase beliau hijrah ke waido dan kawin disana. Dengan siapa beliau kawin? tentu saudara kami yang di waido yang lebih tau. Kalau dari tulisan Doktor Husaini M.A menyebutkan Teungku Chik di pasi kawin dengan salah seorang anak Ulama keramat di waido. Waido, ada juga yang menyebutnya dengan walido. Sebuah peta silsilah keturunan praja chik meuleuweuk yang di keluarkan orang menyebutkan, diantara anak praja chik meuleuweuk yang 4 4 orang, salah seorang di antaranya ke walido, namanya juga di sebut Abdussalam. Peta silsilah ini kami anggap suatu kekeliruan. Sewaktu kami ke blang krueng darusssalam banda aceh, Iswahyudi mengatakan juga demikian. Katanya waido dulu walido dan tambahnya pusat aceh di situ, apa maksudya kami tidak mengerti.
Anak beliau di waido 2 orang, yaitu:
1. Naleuk
2. Cut pucoek.
Ini kalau kami tidak keliru, seperti yang kami baca pada silsilah di waido sewaktu kami berkunjung pertama kali pada tahun 2014, tetapi iswahyudi mengatakan setelah naleuk anak beliau dua orang permpuan. Sewaktu kami berkunjung kali kedua ke waido Teungku Abdussalam mengatakan demikian juga.
MERAJUT HUBUNGAN ANAK CUCU
Kesemua TU sepertinya anak cucu mereka berhubungan silaturrahmi tentu dengan cara kawin antar sesama, banyak diantara cucu tu garot dan tu gampong aree yang meranto ke pase dan mengambil jodoh dari keturunan tu waido yang sudah tersebar di pase, mereka ada yang dari gampong aree, reubee, garot dan sekitarnya bahkan ada yang dari kembang tanjong. Mereka umumnya orang pidie umumnya berniaga dan umumnya singgah di matang ubi, karena di posisi matang ubi terbentuk pusat pemerintahan dan pasar. Disini pun mereka di sambut dengan baik dan dicarikan jodoh tidak disuatu tempat, melainkan tersebar ke tempat tempat seperti blang ruma, beurandang, alue bili dan lain-lain, termasuk di matang ubi sendiri.
Dapat kami jelaskan dari ini semua diantaranya adalah:
Kepala rombongan pertama Teungku husen atau teungku Dalam yang mengambil posisi matang ubi mempunyai anak 7 orang yaitu :
1. Teungku di Tanjong
2. Nek Rah (Nek rumoh krueng) satu-satunya perempuan.
3. Teungku Gunong Rumoh Rayoek
4. Teungku Bak mancang
5. Peutua Loen
6. Teungku Puteh (Teungku Pidie)
7. Teungku Ibrahim.
Salah seorang cucu tu garot yang bernama Teungku Johan menikah dengan nek rah/nek rumoh krueng. Beliau mempunya anak 3 orang, yaitu:
1. Nek Rian
2. Nek Burhan
Kedua mereka kawin dan menetap sampai meninggal di meunasah meureubo peutoe
3. Nek Fatimah Syam.
Salah seorang cucu tu gampong aree yang bernama teungku faqeh kawin dengan Nek Fatimah Syam, beliau mempunyai anak 3 orang, yaitu:
1. Katijah/Mariam
2. Ainsyah
3. Umiyah, biasa di sebut umi, beliau adalah ibunda penulis.
KASUS PEUTOE
Setelah teuku hakim jaba (teuku binta, teuku pase, tu peukarha) yang mendirikan nanggroe peutoe meninggal, di gantikan oleh anak sulungnya teuku hakim lutan. Beliau ada kasus dengan adiknya teuku bentara cut (teuku cut). Kesannya beliau mau di bunuh. Beliau menghindar, mencari perlindungan pada teuku di tanjong matang ubi. Teuku di tanjong anak sulung Teungku dalam secara adat aceh menjadi panglima kaoem untuk anak cucu teungku dalam. Setelah terjadi perdamaian, mungkin atas campur tangan yang mewakili sultan aceh, teuku hakim johan kembali lagi ke peutoe. Atas jasa baik teungku di tanjong dan adik adiknya, teuku hakim johan memberikan wilayah sebelah timur dari nanggroe peutoe yang berbatasan dengan matang ubi kepada keluarga besar teungku di tanjong. Menyambut baik hal tersebut teungku di tanjong dan adiknya teungku gunong rumoh rayoek dan berangkat mengambil tempat di posisi yang di berikan tersebut. Posisi tersebut kemudian di beri nama cot hagu. Kemudian dari pada itu seorang dari saudara mereka anak dari paman mereka yang di pagee bergabung mengambil tempat di wilayah tersebut. Nama beliau umar, biasa kami panggil dengan nek laboh , karena beliau pernah merantau ke meulaboh. Kemudian berangsur-angsur wilayah tersebut mulai ramai di tempati orang-orang lain, lebih-lebih sesudah belanda menguasai daerah keureuto. Sampai-sampai terbentuk tujuh kampung dalam wilayah yang diberikan tersebut. Ditempat yang didiami oleh teungku di tanjong dan teungku gunoeng serta teungku umar terbentuk kampung yang di beri nama seuneubok dalam. Kemudiannya terbentuk kampung-kampung yang lain di sekitarnya enam kampung lagi sehingga menjadi tujuh dengan seuneubok dalam.Teungku di tanjong kemudianya kembali lagi ke matang ubi, meninggalkan anaknya yang sudah dewasa dan satu-satunya yang bernama Abdullatif. Beliau di angkat oleh teungku hakim lutan menjadi Teuku Bentara (teuku ben buket hagu) membawahi tujuh kampung dalam wilayah tersebut. Beliau juga di nikahkan dengan anak Teuku hakim lutan yang bernama cut ande.
MENCARI JEJAK TU
Generasi pertama dan kedua di pase masih sibuk dengan mempersiapkan tempat pemukiman baru mereka. Baru pada generasi ketiga mulai ada yang mencoba mencari jejak tu ke waido. Satu rombongan dari pase sekitar tahun 60-an di pimpin oleh Teungku M. Tayib Hamidi sebanyak 5 orang termasuk Mukhtar Usman berangkat ke Waido, disana beliau di terima oleh keluarga waido di pimpin oleh seorang Nenek, mereka di jamu dengan Hidangan Unik yaitu Kopi Pahit dan telur asin rebus, dengan agak getir para tamu tentu menyantap hidangan tersebut. Setelah hidangan di santap, sang Nenek berucap “Anda semua benar saudara kami”. Diceritakan kemari mereka menjalin hubungan dengan keluarga Kurnia, bahkan di pase pernah mengadakan kenduri dan keluarga kurnia tersebut di undang. Ketika kisah unik ini kami ceritakan pada Cupoe (maaf, kami belum mengetahui nama istri Syeh Abdussalam, beliau mengiyakan pernah mendengar dan menyebutkan nama Sang nenek. Dalam kurun yang hampir sama seorang dari pase bernama peutua keubah juga mencari jejak ke waido, diceritakan sesampai disana beliau mendapatkan ada satu masalah di waido, di katakan di mesjid (guci rumpong) peninggalan tu ada sesuatu yang tertinggal di kubah (puncak) mesjid. Dikesankan benda tersebut baru bisa di ambil kalau keturunan beliau dari anak laki-laki datang mengambilnya. Kebetulan peutua keubah adalah keturunan dari anak laki-laki beliau, dan dapat mengambilnya.
Rombongan Teungku M. tayyib hamidi adalah mewakili keturunan Teungku Syeh Ibrahim kepala rombongan kedua yang mengambil posisi gampong baroe. Sedangkan peutua keubah adalah keturunan anggota rombongan pertama yang mengambil posisi parang sikureng. Rombongan ketiga adalah terdiri dari Teungku Sulaiman Ahmad atau teungku lhoksukon, teungku Muhammad Rasyid (Abu Geulumpang samlakoe) dan Teungku Abdulhanan (Abu Hanan Tabib Lhoksukon). Bersama-sama setelah hijrah ke kuburan juga mengunjungi Waido. Mereka di perlihatkan peta silsilah seperti yang kami lihat kemudian nya tahun 2014. Setelah melihat-lihat peta tersebut mereka tidak menemukan apa yang didengarnya di pase. Mereka tidak melanjutkan karena kedua Abu Tersebut adalah Ulama alumni krueng kale. Mereka sibuk mengurus dayah masing-masing. Teungku Sulaiman Ahmad/teungku lhoksukon mewakili anggota rombongan kedua yang menempati blang ruma. Teungku Muhammad Rasyid/Abu geuleumpang samlakoe mewakili keturunan angota rombongan pertama yang menempati posisi alue bili. Teungku Abdulhanan/Abu Hanan Tabib mewakili keturunan anggota rombongan kedua yang menempati posisi lapang. Ketiga mereka mewakili tiga kelompok.
Beranjak dari ini semua maka, penulis dan kawan-kawan melakukan penelusuran lebih intensif dan berkelanjutan dengan rencana menggabungkan wakil dari semua kelompok anak –anak TU WAIDO yang sudah tersebar di 20 titik di pase. Kami 3 kali mengunjungi meureudu, beberapa kali mengunjungi waido, satu kali mengunjungi blang krueng darussalam banda aceh, mencari tau tentang teungku chik di seulue. Karena ada yang beranggapan teungku chik di seulue adalah yang di tulis sin lam ya dalam silsilah waido, tetapi setelah kami telusuri yang di maksud dengan sin lam ya tersebut adalah Sulaiman , adiknya Syeh Abdussalam (Tu Waido) yang di angkat oleh Sultan Iskandar Muda menjadi hulubalang (raja) meureudu dengan gelar teuku muda dalam yang kami sebut dengan tu meureudu. Dan sekali kami mengunjungi gigieng, mencari tau tentang Syeh Burhan Gigieng, karena ada yang beranggapan beliau lah ayah nya Syeh Abdussalam dan adik-adiknya yang di tulis di silsilah waido dengan Burhanuddin. Ternyata setelah kami telusuri Syeh burhan gigieng yang kami baca dari tulisan dr. Husaini ismail M.a yang kami dapat di gigieng, beliau adalah bernama Syarif burhan dari keturunan bangsawan mekkah yang bekerja sebagai perwira mliter di kesultanan turki usmaniah atas permintaan sultan Aceh beliau bersama sejumlah senjata dan 313 teknisi dikirim oleh sultan turki ke Aceh. Bagaimana mungkin setelah mendapat gelar Syeh dan sebutan Teungku chik namanya bisa berubah dari Syarif burhan ke Burhanuddin. Di Aceh beliau kawin dengan kakaknya ibunda iskandar muda yang benama putri ratna wangsa. Beliau mempunyai anak 3 orang:
1. Alawuddin Adnan, yang kemudian bergelar Teungku chik di pasi, karena sudah menjadi keluarga kerajaan, beliau ada di tawarkan jabatan, tetapi beliau tidak mau menerima. Beliau lebih memilih posisi Ulama dan beliau tidak mempunyai keturunan.
2. Syeh Abdullah, di angkat oleh sultan sebagai mentri Singa raja (se umpama menko sekarang) beliau juga menjabat kepala tanoeh wakeuh dan juga kepala rumah tangga istana peristirahatan sultan Aceh di pidie, setelah habis masa jabatan di kerajaan beliau lebih memilih posisi Ulama dan populer di sebut teungku chik di bluek.
3. Syiah Ulama, beliau juga di angkat sebagai Ketua Mahkamah Agung kesultanan Aceh setelah habis masa jabatan beliau juga lebih memilih posisi Ulama, populer disebut sebagai Teungku chik di suleu.
Tentang Syiah Ulama sepertinya bukan nama asli, dr. Husaini sendiri rupanya tidak menemukan nama asli beliau. tentang syiah ulama ada cerita, pertama di seulawah ada satu perkumpulan tariqat, katanya untuk memperdapat martabat syiah . sewaktu kami masih dalam penulusuran yang kami telusuri ini ada yang mengajak kami untuk bergabung. Kami untuk sementara menolak karena kami mau menulusuri secara Faktual, karena yang kami telusuri ini untuk orang ramai, kalau dengan ghaib tidak ada fakta tentu orang ramai tidak ada yang percaya. Kedua perkumpulan seni rapai dabus dalam syairnya menyebut nama Syiah Ulama, ketika menyebut nama tersebut pertunjukan rapai atau tob dabus menjadi makin seru. Apakah kedua cerita ini ada hubungan dengan Syiah Ulama yang kita sebutkan diatas? wallahu aklam...!
TENTANG SYEH BURHANUDDIN ULAKAN
Tersebut dalam wikipedia Syeh Burhanuddin yang bernama asli Pono yang awalnya beragama budha , lahir 1646M (1046H) belajar agama islam di Aceh pada Syeh Abdur Rauf As-singkili dan setelah Alim kembali ke kampung pada 1680M (1091H) dan meninggal pada tahun 1704M (1116H).
Memang di Aceh ada riwayat orang Minang Kabau yang belajar pada Syeh Abdur Rauf As-singkili, tetapi tidak disebutkan nama, tapi di sebut dengan teungku Padang, karena kebiasaan orang Aceh menyebut orang asal minang Kabau dengan orang Padang. Riwayatnya sang teungku padang sangat rajin dan yakin belajar, tetapi beliau sangat lambat dalam memahami pelajaran yang di ajarkan. Suatu ketika ada kejadian Syeh Abdur rauf kehilangan benda kesayangannya, benda tersebut yang orang Aceh menyebutnya dengan kerandam yang terbuat dari tembaga yang di gunakan sebagai wadah tempat mengisi atau menyimpan tembakau sugi. Benda tersebut terjatuh sewaktu Beliau qadha hajat. Tempat qadha hajat orang dahulu adalah lobang yang di gali yang di beri galang tempat berdiri yang atasnya terbuka Cuma di pagari. Orang Aceh biasa menyebutnya dengan bagan atau kakus (wc cemplung). Didalam kakus tersebut kalu hujan terkena air kalau musim kemarau di penuhi belatung. Rupanya waktu Syeh Abdur Rauf qadha hajat, kesitulah jatuhnya. Setelah kembali ke rumah Syeh menceritakan kepada murid-muridnya, mendengar cerita tersebut sang murid merasa prihatin, iba dan bercampur enggan. Rupanya sang teungku padang secara diam-diam berusaha mengambil benda tersebut. Setelah di bersihkan benda tersebut diserahkan kepada sang guru. Sang guru sangat bergembira karena benda kesayangan nya telah kembali. Sang teungku padang di panggil sang guru untuk mendekat dan duduk berhadapan. Sang guru komat kamit kemudian meletakan telapak tangannya di dada sang murid dan berucap “kamu sudah mendapatkan ilmu dari saya dan sudah boleh kembali ke kampung untuk mengajarkan pada orang lain” Mendengar ucapan guru tersebut murid-murid yang lain tersenyum simpul. Di hari yang lain waktu belajar guru mengatakan beliau ada keperluan lain untuk menggantikan posisi beliau di mintak kepada teungku padang. Sekali lagi murid-murid yang lain terheran-heran. Tetapi ketika pengajiaan di mulai ternyata teungku padang dengan mudah menguraikan apa yang tertulis di dalam kitab. Barulah semua murid Syeh Abdur Rauf memahami apa yang di maksud oleh guru.
Dalam catatan kami Syeh Burhanuddin yang kami sebut sebagai kakek kami, Hijrah ke Ulakan pada tahun 1050H, sedangkan Pono baru berumur 4 tahun. Kemudian Syeh Burhanudin kembali lagi ke Aceh pada tahun 1085H, mendalami Tarikat Syattariah pada Syeh Abdur Rauf untuk di kembangkan kembali di padang. Pada Tahun tersebut teungku padang (pono) masih 6 tahun lagi berada di Aceh, belum lagi kembali ke kampung (minang kabau). Beliau Syeh Burhanuddin meninggal pada tahun 1111H yaitu 5 tahun sebelum teungku padang (pono) meninggal.
Kami yakin Syeh Burhanuddin (pono) kuburannya ada di tempat lain, tentu saudara kami di minang kabau yang bisa menelusurinya. Dan kami juga yakin teungku pono (teungku padang) bukan lah Syeh Burhanuddin yang tertulis di makamnya meninggal pada tahun1111H. Dan lagi belum pernah ada orang yang belajar di Aceh mendapat gelar Syeh. Gelar Syeh biasa di sebut kepada orang yang pulang belajar di Arab, atau orang Arab sendiri yang berhijrah ke negeri kita. Cuma di jawa yang untuk Ulama karismatik yang pulang dari Arab di sebut Kiyai. Tetapi di Aceh, Ulama yang punya karisma di sebut Teungku chik yang bermakan Ulama Besar, walaupun yang bergelar Syeh atau tidak.
Dari perbandingan yang kami uraikan di atas Pono kembali ke kampung pada usia 35 tahun. Karena dia sudah alim mengajarkan ilmunya di kampung kepada orang lain adalah sesuatu yang lumrah, tetapi untuk mengembangkan ilmu tariqat di kampung jelas tidak mungkin, karena kebiasaan nya, orang yang mengembangkan ilmu tariqat sudah lebih berusia di atas 60 tahun, dan sudah ada martabat khusus yaitu ijazah mursyid dari gurunya. Sedangkan Syeh Burhanudin sudah berusia sekitar 100 tahun pada waktu tersebut. Jadi sangat logis beliau di ijazahkan martabat tersebut oleh Syeh Abdur Rauf. Yang lebih logis teungku pono kembali ke kampung bergabung dengan Syeh Burhanuddin, dan mungkin juga ketika Syeh Burhanuddin kembali ke Aceh menekuni ilmu Tariqat, Syeh Abdur Rauf memperkenalkan Syeh Burhanuddin Kepada Pono yang waktu itu masih belajar di Aceh.
Mungkin karena inilah Teungku Doli (Teuku padang) yang lama belajar di Aceh tidak yakin kalau pono yang mengembangkan Tariqat Syattariah di minang kabau.
Dan ini sesuai dengan ceramah Ustad Abdus somad dan Khutbah Doctor Syeh Abdulmanan yang menyebutkan Syeh Burhanuddin Ulakan bersama Syeh Yusuf Makasar serta seorang lagi temannya mendalami Tariqat Syattariah pada Syeh Abdur Rauf di Aceh. Kalau yang di maksud Syeh Burhanuddin adalah Pono tidak mungkin dia bersahabat dengan Syeh Yusuf makasar yang merupakan saudara kandung Syeh Burhanuddin.
TEUNGKU CHIK DI PASI
Di atas sudah kita sebutkan Syeh Abdussalam hijrah dan kawin ke waido dengan anak seorang ulama Karamat di waido, Tetapi tidak menyebutkan namanya, kita sebut saja Teungku chik waido. Ini terpetunjuk dari situs-situs yang diperlihatkan kepada kami ada yang bernama Rumoeh beut Iskandar Muda. Berarti Iskandar Muda waktu kecil belajar pada beliau. Mungkin ini yang di maksud oleh Iswahyudi Blang krueng Darussalam Banda Aceh, “Waido dulu bernama Walido, Pusat Aceh” ini Cuma istilah. Memang Iskandar Muda kecil berada di Pidie karena ayahnya Tuanku Mansur anak Raja Pidie yang menjabat sebagai panglima Armada laut Aceh, syahid di pulau kampai Tamiang saat mengawal perairan Aceh berpapasan dengan pasukan Portugis. Ketika itu Iskandar Muda masih dalam kandungan. Sedangkan Ibunya Raja Putri Anak Sultan Aceh tetap menetap di Pidie dan melahirkan di pidie. Karena kakaknya Putri Ratna Wangsa istri Syarif Burhan Gigieng juga berada di Pidie. Setelah Iskandar Muda remaja baru di jemput pamanya Raja Muda yang sudah menjabat Sultan Aceh menggantikan ayahnya yang sudah meninggal. Iskandar Muda di didik kedisiplinan dan kemiliteran sampai kemudian di angkat menjadi panglima prang Aceh dan di minta mengusir Portugis yang sudah menduduki Lamno. Usaha ini berhasil sampai Portugis hengkang dari Lamno. Masyarakat dan tokoh-tokoh Aceh saat itu sangat kagum kepada Iskandar Muda. Akhirnya setelah pamannya meninggal Iskandar Muda di angkat menjadi Sultan Aceh. Pada masa beliau Aceh lebih berjaya sampai mencapai puncaknya.
Di pasi berasal dari kata PASI yang bermakna tepi laut, sesuatu yang di bicarakan tentang tepi laut, di sebut “di pasi”, di adalah kata sandang menunjukan tempat. Ulama yang berdomisili di kampung pinggir laut di sebut Teungku chik di pasi. Sebenarnya banyak ulama yang di sebut Teungku chik di pasi karena desa tepi pantai sungguh sangat banyak, kebiasaan menyebut di pasi adalah kebiasaan di Pidie. Sedangkan di pase tidak ada Ulama yang di sebut Teungku di pasi walaupun ada ulama yang berdomisili di kampung pinggir pantai, tidak di sebut Teungku di pasi. Sebenarnya di pase ada tempat yang di sebut Tanoeh pasi yaitu pusat nanggroe Kertoe yang sesudah kemerdekaan Cuma di abadikan sebagai nama kecamatan Tanah Pasir. Seperti itu makanya salah seorang keturunan teungku chik geulumpang minyeuk yang di sebut teungku chik di pasi, keturunannya sekarang menganggap teungku chik pasi mereka adalah Teuku chik di pasi yang kuburnya di ie leubeu. Dan juga dari keluarga kakek-kakek dari ibunda Muhammad Nazar ada seorang yang berjulukan Teungku chik di pasi. Mereka juga menunjukkan Object Makam yang sama.
Syeh Abdussalam tidak pernah tinggal di pasi, di empat tempat beliau kawin yaitu Beuracan, pante geulima, ie rob dan waido semuanya jauh dari pantai. Penyebutannya Teungku Chik di pasi karena setelah meninggal di makamkan di tepi pantai pasi ie leubeu, atas petunjuk beliau sendiri ketika masih hidup.
Ketika sudah di waido banyak riwayat kekeramatan tentang beliau. Sebenarnya pertanda ke arah itu sejak di meureudu sudah ada, diantaranya Dia mewasiatkan kepada anaknya yang hijrah ke pase untuk singgah di awee geutah. Tenyata di sana sudah di sediakan jodoh oleh Teungku chik awee geutah. Dan lagi anaknya yang di suruh ke pase sudah di tentukan posisi mereka masing-masing di sana.
Diantara cerita kekeramatan beliau di waido, dua yang paling utama yaitu membuat saluran irigasi yang di sebut Lueng Bintang. Riwayatnya ketika beliau sudah berusia lanjut, beliau melakukan prosesi khalwah di pengasingan bersama rekannya Teungku Chik di ribee, di pimpin seorang guru yang di kenal dengan Teungku chik di bluek. Setelah selesai acara khalwah ketika mau kembali ke waido beliau meminta kepada gurunya suatu hadiah atau tanda mata, awalnya sang guru menolak mengatakan “yang anda minta tersebut ada pada diri anda sendiri” , tetapi karena di desak terus, sang guru memberikan sebuah tongkat. Setelah mendapat hadiah tersebut beliau minta izin kepada sang guru membawa tongkat hadiah. Beliau menuju ke tepi sungai dalam suasana sudah malam, dia berdiri di tepi pantai sambil mengatakan “engkau air makhluk Allah, engkau bumi makhluk Allah dan saya serta tongkat ini juga makhluk Allah hendaknya engkau air bermanfaat bagi makhluk Allah yang berada di daerah kami”. Lalu beliau sambil menunduk berjalan di kegelapan malam dan menyeret tongkat di belakangnya terus menuju sampai ke kampung beliau. Ternyata di belakang beliau telah terjadi sebuah saluran irigasi Lueng Induk yang di beri nama Lueng bintang, baru kemudiaanny masyarakat bergotong royong membangun saluran supaya air sampai ke sawah mereka masing-masing. Dan kekeramatan satu lagi adalah menentukan tempat pemakamannya kelak dengan cara Lemparan Tongkat. Ceritanya beliau berdiri di samping pohon asam jawa di kampung beliau memegang sebuah tongkat disaksikan oleh anak dan cucunya serta masyarakat lain sambil berkata “tongkat ini saya lempar di mana tongkat ini jatuhnya, di situlah nanti saya di kebumikan kalau sudah meninggal”, ternyata tongkat tersebut jatuh di dalam air di pasi ie leubeu kembang tanjong. Setelah tongkat jatuh di tempat tersebut, tanah ditempat tersebut berangsur timbul sehingga menjadi daratan dan kini nyata bahwa kuburannya berada di tempat tersebut. Dan semenjak itulah beliau baru di kenal sebagai Teungku Chik di pasi.
Apa sebenarnya hikmah beliau meminta tidak di kuburkan di waido? mungkin saja untuk tidak ada dua kuburan teungku chik di tempat yang sama.
KELUARGA BESAR TEUNGKU CHIK DI PASI
Ini nama organisasi perhimpunan keturunan Syeh Burhanuddin Ulakan di Aceh dan berpusat di pase (Aceh Utara sekarang). Nama Syeh Burhanuddin dan gelar Teungku bujang Puteh kurang populer di Aceh karena beliau cuman 41 Tahun di Aceh, sedangkan 60 tahun lebih di minang kabau sampai meninggal. Teungku Chik di Pasi adalah nama populer anak sulung beliau yang bernama asli Syeh Abdussalam. Kebiasaan orang Aceh kalau orang tuanya sudah tiada anak sulung di sebut panglima kaum (pemimpin atau pelindung keluarga). Sedangkan berpusat di pase, karena sebagian besar keturunan beliau membangun komunitas di pase. 20 titik komunitas di bangun oleh anak Teungku Syeh Abdussalam (7 di matang ubi, 5 di sekitar matang kuli, 1 di blang ruma nanggroe hakim krueng, 1 di nibong, 3 di pesisir keureuto/keureuto lapang dan buah, 2 di seuneudon/aluebili dan alue anoe, dan 1 di beurandang nanggroe peutoew). Setidaknya 2 dari cucu Teungku Muda Dalam membangun komunitas ke hulubalangan di pase, yaitu Putoe dan Ara bungkok. Dan banyak dari keturunan Tu Garot dan Tu Aree meranto ke pase dan mencari jodoh dari keturunan Tu Waido dan Tu Meureudu yang ada di pase, Mereka membangun keluarga dan meramaikan pase.
Kami menghingbau dan mengajak saudara-saudara kami sesama keturunan Syeh Burhanuddin dimanapun berada untuk bergabung dengan perhimpunan ini baik secara pribadi ataupun kelompok jika di tempat saudara-saudara kami tersebut telah terbentuk kesatuan atas nama Anak ataupun Cucu Syeh Burhanuddin. Saudara-saudara kami yang kami maksud adalah : Pertama Keturnan dari anak Tu Waido yang sudah tersebar di 20 titik di pase baik yang masih di tempat atau sudah berpindah ke lain tempat. Kedua Keturunan Teuku zainal Abidin yang pernah di tunjuk sultan Aceh sebagai duta kesultanan Aceh untuk kerajaan langkat. Informasi yang kami ketahui di langkat beliau setelah beberapa lama bertugas disana , di tarik kembali oleh Sultan Aceh, tetapi kami tidak mengetahui dimana beliau membangun komunitas selanjutnya. Tetapi, keturunan dari anak sulung beliau yang ikut bersama pamannya meramaikan pase, ada di pase bersama kami. ketiga keturunan Raja Seulayang Meulaboh, baik yang masih di Meulaboh dan sekitarnya atau pun yang sudah berdomisili ditempat lain. Keempat Keturunan Raja Sulung Tamiang yang di pase di sebut Tu Tamiang baik yang berada di Tamiang atau sudah di tempat lain. Kelima Keturunan Tu Meureudu baik yang masih berada di Meureudu dan sekitarnya maupun sudah membangun komunitas kehulubalangan di tempat lain, seperti Putoe dan Ara bungkok di pase, Keturunan Teungku chik bambi, keturunan Teuku Chik Meureubo dan yang lainnya dimanapun berada. Keenam Keturunan Tu Garot baik yang masih berada di Garot dan sekitarnya maupun yang sudah di luar daerah bahkan ada di luar negeri. Ketujuh Keturunan Tu Gp Aree baik yang masih berada di Gp aree atau sudah meranto keluar daerah bahkan ada yang sudah di pase atau dimana pun berada. Kedelapan Keturunan Tu Lingge Gayo baik yang masih di tempat ataupun yang sudah keluar daerah.
Kami meminta kepada siapa saja saudara kami yang mengenal atau mengetahui tentang keberadaan mereka tersebut, supaya menginformasikan berita ini. Bila diantara saudara kami ada yang mendengar informasi yang berbeda dari yang kami riwayatkan ini supaya dapat membetulkan sesuai dengan riwayat yang kita tulis ini ataupun menginformasikan kepada kami melalui hp/wa.......... kalau informasi berbeda tersebut yang tersebar di media internet juga coba di tanggapi sesuai dengan riwayat yang kita tulis ini, atau menginformasikan kepada kami.
Dan kami juga berharap saudara saudara kami dari keturunan saudara Syeh Burhanuddin yang sama-sama datang dari Yaman dan singgah sementara di Aceh dan kemudian melanjutkan perjalanan keluar Aceh, mereka tersebut adalah :
1. Keturunan Sultan Syeh Maimun yang mendirikan kerajaan Deli.
2. Keturunan Syeh Yusuf Makasar yang masih berada di Nusantara indonesia.
Dan keturunan 3 orang lagi keturunannya yang Cuma satu orang yang kita ketahui nama nya Sya’ya sedangkan dua orang lagi tidak kita ketahui namanya dan dimana domisili keturunannya. Setidaknya satu orang di antaranya berada di Banten, karena sewaktu berangkat dari Aceh tujuan mereka ke Banten.
Pase, Agustus 2022
penulis Teungku M. Nasir Hasan
No Hp 085373108844
Email : almunahayat@gmail.com